Alkisah, maka tersebutlah seorang laki-laki yang terlalu bijak sana. Maka, katamlah segala kitab pendeta dengan masa terlalu singkatnya. Tiadalah terbanding segala isi negeri itu. Maka, laki-laki itu pun amat dikasihilah kedua orang tuanya itu. Diberilah nama laki-laki itu Indera Bijaksana oleh oranglah. Maka, Indera Bijaksana pun terlalulah megah tatkala didewakan oranglah!
Shahadan, maka tersebutlah suatu hari yang tiada tahu bila, Indera Bijaksana berjalan seoranglah. Terlihatnya segala isi hutan belantara itu. Maka, tiadalah gerangan yang tiada dalam kepalanya. Segala isi disebutnya jelas tiada salah lagilah. Tatkala, terlihatlah laki-laki itu seorang tua yang sakit terlalu dasyatlah. Maka, dihampiri yang tua tidak bermaya itu. Maka disapanya, "Wahai orang tua, sakitmu akan aku sembuhkan sekelip mata." Maka yang tua itu pun lihatlah wajahnya. Maka tiadalah terdaya untuk berkata-katalah kepada Indera Bijaksana itu. Maka, disentuhnya tubuh orang tua itu dengan penuh tertib. Maka, hilanglah sakit itu bagai berlalu dibawa angin. Maka, terlalulah kagum tiada terkata apa orang tua itu. "Hai orang tua, sakitmu diseru kakimu yang terkilas itu. Baiklah jangan berjalan rapat dengan akar agar tiada ditimpa kecelakaan." Maka, terlalu hairanlah yang tua itu mendengar Indera Bijaksana berkata. Semuanya benar tiada palsu.
Maka, Indera Bijaksana pun terus berjalanlah. Maka terlihatlah sebuah sungai terlalu besarlah. Maka adalah seorang nelayan memancing dengan terlalu marah. Maka ditanyalah Indera Bijaksana itu kepadanya. "Wahai nelayan, tiadalah perlu bermarah-marahan. Ikan tidak datang tanpa umpan." Maka, nelayan itu pun marahlah kepadanya dengan garangnya. "Aku sudah habiskan banyak umpan. Aku berikan cacing, aku berikan ikan kecil, semua tidak menjadi. Kau berambus dan jangan memandai." Maka diberitahulah Indera Bijaksana yang umpan itu bukan cacing, bukan ikan kecil tetapi umpan perhatian. Maka diceritalah segala buruk cela nelayan itu yang sudah takutkan isi sungai itu dengan garang gerangannya. "Hai nelayan, tiadalah ikan itu mahu datang jika kemarahanmu sudah tukar perhatian ikan itu dari umpanmu." Maka, tiadalah mahu nelayan itu mendengar. Maka terlalulah benci akan indera Bijaksana itu. Maka dicela nelayan itu secela-celanya. "Kau yang bodoh, tiadakah kamu tahu akulah yang paling bijaksana dalam negeri ini? Kau yang tiada ilmu lagi sombong. Hai celaka, kau fikir kau sudah cukup bijaksana sebagaimana aku?" Maka ditinggalkanlah nelayan itu.
Shahadan, maka Indera Bijaksana pun datanglah kembali ke sungai terlalu besar itu hari kemudiannya. Maka teringinlah Laki-laki itu melintas sungai. Dilihatnya ada dua jejambat sama rupa. Maka, dilihatnya tiada beza pun. Indera Bijaksana pun berfikirlah dalam hatinya, "Sesungguhnya, yang aku lintas ini selamatlah mana pun.". Dia pun melangkahlah. Maka dipijaknya jambatan yang kanan itu. Shahadan, ditegurlah Nelayan tempoh hari itu dengan kuatnya bagai tagar di langit. "Hi orang muda, tiadalah selamat jejambat itu dipijak. Pijaklah yang kiri itu nescaya kamu akan SELAMAT!". Maka difikir Indera Bijaksana itu, "Baiklah aku ikut nelayan itu." Maka, berpatahbaliklah Indera Bijaksana itu memijak yang kiri itu. Maka tersenyumlah Nelayan itu dengan gembiranya lalu ditawanya sekuat-kuat hati. Maka, Indera Bijaksana pun berlangkah kembali memijak yang kanan itu. "Hai nelayan yang celaka, kau cuba mahu kenakan aku?" Bisik laki-laki itu dengan merah padam di mukanya. Shahadan, Indera Bijaksana pun jatuhlah ke dalam sungai dan basah kuyuplah. "Hahahaha, Ikan besar! ikan besar!" Maka tiada tertahanlah gembira nelayan itu mendapat rezeki besar, tiadalah dipandang Laki-laki basah kuyup itu.
itu.
(Sekadar berkarya)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan